Support

Catatan Sang Mantan

Kalau sudah begini, yah terpaksa aku harus memberanikan diri. Sebuah rumah yang empat tahun lalu ku kunjungi tidak begitu banyak perubahan saat ini. Hanya saja pot-pot bunga makin banyak tertata di depan rumah. Aku sudah tidak bisa mundur. Meskipun rasa segan masih menyelingkup di dadaku, bergutat melawan tatapan mata penasaran seorang ibu yang sejak tadi sibuk menyirami tanaman bunga berwarnah cerah. Seketika ia menghentikan pekerjaannya, menjawab pandanganku padanya. Itulah sebabnya ku katakan mengapa aku tidak bisa mundur sekarang. Merespon, aku membuka helm. Hah, sudah ku duga, dia kaget melihatku. Segemgam rasa amarah nampaknya masih mengendap di jiwanya, tersimpan jauh dalam lubuk hatinya. Semuanya tersirat dari sorot matanya yang nanar menatapi bunga di hadapannya seperti menatap bunga di seberang pulau jauhnya. Ialah ibu Ipa. Orang yang akrab aku panggil tante, saat aku masih pacaran dengan anaknya sejak empat tahun yang lalu. “Salam alaikum Tante” dengan segan Aku memberi salam. Suaraku mungkin terdengar kecil dan bergetar, aku masih belum bisa meredakan detak jantung yang makin lama, makin tak beraturan iramanya, bertatap langsung dengan ibu Ipa. “walaikum salam, mau apa?” jawabnya ketus. Napasku tersengal. “Saya mau bersilaturahim Tante” ibu Ipa terdiam beberapa saat. Menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku jadi teringat pada petugas tiket yang waktu itu mengiraku belum cukup umur untuk menonton film yang berkategori golongan dewasa. Aku hanya bisa menatap tanah, kaku, dan tak tahu harus berbuat apa. “Ayo masuk” jawabnya singkat, memutar badan dan langsung masuk ke rumah. Seakan tak percaya. Aku melangkahkan kakiku, menarik napas panjang menghembuskannya perlahan. Kecemasanku berangsur-angsur redah. Namun, ketegangan yang sesungguhnya baru akan di mulai ketika kakiku melangkah masuk melewati pintu rumah ibu Ipa. Seketika, aku teringat pada empat tahun lalu sejak pertama kali aku masuk ke rumah ini. Kembali ku hela napas, mencoba meredahkan degup-degup ledakan kecil di rongga dadaku. “Widi-Nya tidak ada, mungkin sebentar malam baru pulang” katanya dengan suara datar. Tak ku sangkah. Ada apa dengan Ibu Ipa?. Biasanya dia tidak pernah langsung ke pokok pembicaraan seperti ini. Apakah waktu perlahan-lahan telah menghilangkan sifatnya yang suka berbas-basi, atau mungkin dalam lubuk hati Ibu Ipa belum bisa menerima keberadaanku di sini? “Saya minta maaf Tante” yah itulah yang ku kutakan. Kata-kata yang berulang kali telah ku ucapkan kepada Ibu Ipa beberapa tahu lalu, kini ku ucapkan lagi. Aku hanya bisa menatap lantai. Tidak bisa menebak apa yang akan terjadi. Ibu Ipa hanya menatapku sayu, menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Aku deg-degan. “Tunggulah Widi di kamarnya!. Sebentar lagi Bapaknya mau pulang, saya tidak mau kalau bapak tahu kamu datang ke sini”. “I…iya Tante…”. Aku mengikuti permintaan Ibu Ipa, mengekor, lalu masuk ke kamar Widi. Heran juga, aku hanya bisa menelan ludah. Aku tidak bisa membayangkan betapa bencinya orang tua Widi padaku. Memang pada saat itu Widi yang minta putus padaku, tapi semua masalah dimulai dariku yang memang sengaja mencari gara-gara dengan Widi. Aku tahu dia diam-diam membuntuti aku lewat temannya yang kebetulan dekat denganku. Sebagai orang yang cari masalah, yah aku mencoba menggoda wanita lain dan sempat dengan wanita tersebut, di depan mata-mata widi itu. Sudah menjadi prinsipku untuk tidak akan pernah memutuskan perempuan. Aku punya alasan tersendiri untuk itu. Tujuan ku ke sini hanya untuk bertemu dengan Widi, dengan harapan dapat melihat senyumnya yang terkesan malu-malu dan mengganggapku sebagai seorang kakak saat ini atau paling tidak teman juga tidak apa-apa. Aku ingin menceritakan semuanya. Segala kesalahan yang pernah kulakukan padanya dan semua kebohongan yang pernah ku perbuat padanya. Aku ingin menjalin hubungan dengannya. Tentunya bukan sebagai seorang pacar. Aku ingin bisa akrab lagi dengannya dan melupakan kesalahan masa lalu. Dalam batinku berkata. “Apakah aku seorang pengecut?, yang hanya bisa bersembunyi dalam kamar” segera ku hempas pikiran itu cepat-cepat. Aku tidak mau seperti dulu lagi. Kalau toh nantinya ayah Widi pulang, biarlah ia tahu aku ada di sini. Selesaikan sekarang atau tidak sama sekali. Dalam kamar ini cukup sejuk bila jendelahnya ku buka. Cahaya senja menyebar terbias ke seluruh kamar, membuat dinding berlapis cat kuning pudar seakan berubah warnah menjadi oranye. Waktu pacaran dulu aku memang selalu menunggu Widi di kamar ini. Orang tua Widi waktu itu menaruh kepercayaan penuh padaku. Entahlah dengan sekarang, “kira-kira apa yang diharapkan Tante Ipa padaku, dan ada apa dengan ayah Widi?, mungkinkah mereka sangat benci padaku?” hhhaaah segelumit pola benang kusut terus bergutat di benakku, berputar menciptakan sejuta hal negatif, membuatku jadi paranoid. Secara keseluruhan kamar ini tidak begitu banyak perubahan, hanya perabotnya saja yang mengalami peningkatan dan juga agak sedikit berantakan. Banyak buku-buku yang tergeletak di atas kasur, di atas meja belajarnya pun berantakan dengan lembaran lembaran kertas kosong. Kamar ini memang cocok dijadikan ruang tunggu. Nyaman dan banyak bacaan untuk membunuh waktu. Beberapa novel berjajar dengan berbagai judul tersusun di atas lemari pakaian. Beberapa majalah juga tersusun di lantai dan beberapa terlihat di atas kasur. Di dekat pintu, di dalam kardus terdapat tumpukan buku yang sangat banyak hingga menjulang melewati tinggi kardus. Dari atas aku dapat melihat antara sisi dalam kardus dengan buku-buku itu terselip beberapa foto Widi. Satu diantaranya ialah foto Widi berseragam SMA duduk di sebuah halte bus dan memangku sebuah buku, terlihat lucu dengan tas selempang tergantung dari pundak kiri atas sampai perut bagian kiri tertopang oleh bangku halte bus. Dari beberapa susunan buku, aku menemukan catatan Widi. Catatan yang selalu ia jaga dan sembunyikan dengan baik dalam kamarnya. Biasanya dia sering menyimpab buku itu di bawah bantal tidurnya. Pernah suatu ketika aku hendak membaca isi catatannya saat itu pula Widi masuk ke kamar dan memorgokiku. Dia marah bahkan ngambek. Padahal aku tidak sempat membacanya. Ku coba jelaskan malah tidak dipercaya. Ia membenciku. Tapi besoknya baikan lagi. Bosan. Aku membuka catatannya. Namun sayang, beberapa lembar dari buku catatan ini kayaknya sengaja dirobek. Di akhir lembaran yang sobek itu ada catatan. Catatan Widi. “aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, pernahkah engkau memikirkan perasaanku?,kenapa kamu tega membuatku seperti ini?. Aku tahu kamu selalu bohong padaku, tapi aku tetap saja bisa memaafkan kebohonganmu itu, berpura-pura percaya dengan apa yang kamu katakan. Aku berpikir sampai kapan aku bisa bertahan degan sikapmu yang seperti itu. Namun, entah mengapa hatiku selalu bisa menerimamu lagi meski terlalu sering kau membuatku sakit. Tak bisa ku bayangkan setiap air mata yang tumpah karenamu. Andai saja aku robot, aku pasti sudah rusak. Tak mampu menahan kesedihan yang aku alami. Satu-satunya yang membuatku bertahan untukmu hanyalah harapanku padamu agar suatu saat kamu akan berubah, dan memahami aku yang selalu ada di sampingmu, selalu memperhatikanmu, dan akan selalu menyayangimu. Kapankah kau mau mengerti keberadaanku?. Aku stress memikirkanmu bahkan sampai depresi. Aku tidak mau lagi kenal denganmu, tidak mau lagi tahu apa pun tentangmu. Aku hanya bisa mengumpat, moga-moga saja kamu suatu saat akan merasakan penderitaan seperti yang ku alami sekarang. Merasakan rasanya kehilangan orang yang sangat kamu cintai. Merasakan penderitaan hati yang terus mengharap kasih sayang yang tak kunjung datang. Aku tidak akan memaafkanmu. Biar tuhan yang membalas semuanya. Lebih baik membenci daripada memaafkan. Biarkanlah aku dengan rasa sakit ini, rasa sakit ini kebih nikmat dari pada terus mengharapkan kedatanganmu. Memang akulah yang minta putus, tapi itu semua karena kelakuanmu. Aku tidak tahan lagi dengan tingkahmu. Aku rela melakukan apa saja untukmu, selalu memperhatikanmu, tapi memang kamu kurang ajar, biadab. Bisa-bisanya kamu tersenyum atas kepergianku. Kamu jahat. Aku memang lemah hanya bisa menangis dan menumpahkan kekesalanku di atas kertas ini. Aku tidak mau menangis lagi untuk orang sepertimu. Bila saja kau mati, aku adalah orang yang paling merasa bahagia, biarlah kau membusuk di neraka. Aku ingin kau mati setelah merasakan penderitaan seperti yang ku alami sekarang ini. Biar kau tahu rasanya. Agar kau menyesal, dengan begitu semua air mata yang jatuh karenamu akan terbayarkan sudah”. “Wi..Widi.., kenapa?” aku bergumam, tidak tahu mau berbuat apa. Aku mengigit bibir, menyesal dengan semua perbuatanku, catatan Widi masih banyak. Di lembaran berikutnya tertempel fotoku dengan coretan-coretan spidol di wajahku. Berbagai umpat caci di tujukan padaku. Sumpah serapa terus menghujamku dalam catatan ini. Betapa bodohnya aku. Mengapa aku bisa menyia-nyiakan seorang yang sangat mencintaiku?. Andai waktu dapat terulang, sangat ingin aku mengulangnya. Aku merasakannya sekarang dampak dari perbuatanku, untuk itulah aku ke sini. Aku ingin minta maaf. Hatiku menangis menyesal. Sekarang, akulah yang sedih aku kehilangan orang yang sangat mencintaiku, tapi aku tidak pernah mempedulikannya. Aku menyesal. Sesaat kemudian pintu kamar Widi dibuka oleh Ibu Ipa. “ Pulanglah” katanya sambil melangkah mengambil tasku dan meletakaannya di pangkuanku. “Pulanglah, saya sudah menelpon Ayah Widi kamu ke sini. Bapak sangat marah, lebih baik kamu pulang” “Tidak apa Tante, biarkan saja” “Pulang!!!” katanya berteriak. Baru pertama kali aku melihat Tante Widi seperti itu, makin menambah rasa bersalahku. Terpakasa aku mengikuti perintahnya, padahal aku sudah siap dengan semua resiko yang akan aku terima. Anggap saja itu balasan atas segala kesalahanku. Aku pantas mendapatkannya. Kulangkahkan kaki keluar dari kamar dengan segala penyesalan terpatri di hatiku. Berat rasanya keluar dari rumah ini sebelum semuanya selesai. Tak selang beberapa langkah, di depan pintu ku lihat seorang perempuan menatapku kaget, teridiam. Dialah Widi. Perempuan yang pernah mencintaiku. Yah, dia pernah mencintaiku.
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 blogbelajar All Right Reserved